KLB dan Langkah – Langkah Penyelidikan KLB
Disampaikan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Dasar – Dasar Epidemiologi
Dosen Pengasuh : Dwi Sarwani SR, SKM, M.Kes
Oleh :
1. Afif Fathul Kodir G1B010036
2. Rofa Hijrani G1B012007
3. Rossita Kurnia Rahayu G1B012015
4. Sahida Woro Palupi G1B012021
5. Lidya Natalia Sitompul G1B012027
6. Linggih Indriani G1B012097
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berupaya untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang memadai. Upaya - upaya dari pemerintah maupun dari pihak pelayan kesehatan yang terkait telah mencanangkan kegiatan untuk menjamin kesehatan masyarakat Indonesia. Namun, masalah kesehatan masyarakat Indonesia tetap saja ada dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Masalah kesehatan masyarakat dapat terjadi dari sebuah lingkungan. Timbulnya penyakit pada masyarakat tertentu pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara masyarakat dengan komponen yang ada di lingkungan. Apabila berbagai komponen lingkungan tersebut mengandung bahan berbahaya seperti bahan beracun atau bahan mikroba yang memiliki potensi timbulnya penyakit, maka masyarakat akan sakit dan hal ini dapat menurunkan sumber daya manusia. Dimana penyakit merupakan adanya hubungan interaktif antara kehidupan manusia dengan bahan, kekuatan, atau zat yang tidak dikehendaki yang datang dari luar tubuhnya (Achmadi, 2008).
Hewan sebagai bagian dari lingkungan masyarakat memiliki bahaya yang dapat menimbulkan sebuah penyakit. Masalah penyakit hewan ( zoonosis ) yang secara alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya perlu diperhatikan. Selain itu, ancaman zoonosis di Indonesia maupun di dunia cenderung terus meningkat dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, keamanan dan kesejahteraan masyarakat ( Nurhayati et al, 2012).
Munculnya penyakit merupakan bagian dari gangguan ekosistem. Gangguan ekosistem ini terjadi dengan adanya letusan penyakit dalam suatu wilayah. Sehingga gangguan ini dapat dinamakan dengan Kejadian Luar Bisa (KLB) atau wabah. KLB ini adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat terjadi di wilayah tertentu. KLB penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan berbahaya lainnya dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran biaya yang besar dalam upaya penanggulangannya, berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata, serta berpotensi menyebar luas yang membutuhkan koordinasi dalam penanggulangannya (Permenkes 949, 2004). Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan tentang KLB dan penyelidikan mengenai KLB tersebut.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
• Mengetahui pengertian KLB.
• Mengetahui apa saja kriteria penyakit KLB.
• Mengetahui apa saja penggolongan KLB.
• Mengetahui contoh kasus KLB.
• Mengetahui tanda awal KLB.
• Mengetahui langkah-langkah dan kendala penyelidikan KLB.
• Mengetahui penanggulangan dan program pengendalian KLB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kejadian Luar Biasa
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Untuk penyakit-penyakit endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa), maka KLB didefinisikan sebagai suatu peningkatan jumlah kasus yang melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu. Pada penyakit yang lama tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah (non-endemis), adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB (Damayanti, 2013).
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah munculnya kejadian penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut (Achmadi, 2008). Kejadian Luar Biasa adalah terjadi peningkatan jumlah kasus secara bermakna bila dibandingkan dengan periode yang sama pada bulan – bulan sebelumnya (Sudini dan Soetanto, 2004). Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
Kejadian Luar Biasa (KLB) memiliki 7 (tujuh) kriteria, yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
(Permenkes 1501, 2010)
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang (periode tahunan – pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (Maulani, 2010).
2.2. Penyakit-Penyakit Berpotensi KLB
1. Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.
2. Penyakit potensi KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai mortalitas tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera : DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis, Poliomyelitis.
3. Penyakit potensial KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria, Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
4. Tidak berpotensi KLB, tetapi Penyakit-penyakit menular yang masuk program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dll.
( Damayanti, 2013).
2.3. Penggolongan KLB berdasarkan sumber
1. Sumber dari manusia : jalan nafas, tenggorokan, tinja, tangan, urine, dan muntahan. Seperti : Salmonella, Shigela, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
2. Sumber dari kegiatan manusia : penyemprotan (penyemprotan pestisida), pencemaran lingkungan, penangkapan ikan dengan racun, toxin biologis dan kimia.
3. Sumber dari hewan : hewan piaraan, ikan dan hewan pengerat. Seperti : Antraks.
4. Sumber dari serangga : lalat (pada makanan) dan kecoa. Misalnya : Salmonella, Staphylococus, Streptoccocus.
5. Sumber dari udara, air, makanan atau minuman (keracunan). Dari udara, misalnya Staphylococus, Streptoccocus, Virus, Pencemaran Udara. Pada air, misalnya Vibrio cholerae, Salmonella. Sedangkan pada makanan, misalnya keracunan singkong, jamur, makan dalam kaleng.
( Damayanti, 2013 )
2.4. Mengetahui Tanda Awal KLB
Untuk mengetahui masalah kesehatan dalam masyarakat perlu dilakukan survei atau studi epidemiologi khusus, yang memerlukan waktu lebih lama dan biaya lebih tinggi. Khusus untuk kejadian luar biasa (KLB) tidak mungkin hanya dengan melakukan survei, karena KLB terjadi sewaktu-waktu, sedangkan survei perlu direncanakan dan biayanya dianggarkan. Diperlukan adanya petunjuk atau indikasi terjadinya KLB dimasyarakat melalui fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumak sakit, klinik swasta, praktik dokter swasta, dll. Kemudian dilakukan penyelidikan sebagai pembuktian hipotesis setelah dilakukan survei ( Lapau, 2009).
2.5. Penyelidikan KLB
KLB merupakan kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik untuk melakukan penelitian. Misalnya penelitian tentang hubungan yang berat antara ilmu epidemiologi dan penggunaannya di lapangan, mengevaluasi program-program kesehatan (cara diagnosis, pengobatan, imunisasi, pencegahan penyakit, penyuluhan kesehatan) kesehatan sebagai sarana pelatihan epidemiologi pada petugas kesehatan. Di Indonesia, setiap penyelidikan epidemiologi KLB, sebaiknya digunakan sebagai sarana mendapatkan informasi untuk perbaikan program kesehatan pada umumnya dan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan sistem surveilans pada khususnya (Maulani, 2010). Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan :
1. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistem surveilans.
2. Penelitian faktor risiko kejadian penyakit (KLB) yang sedang berlangsung.
3. Evaluasi terhadap program kesehatan lingkungan, kesehatan perorangan dan lainnya, mengevaluasi kemampuan sistem surveilans yang ada, mengetahui partisipasi masyarakat, mengetahui sumber yang tepat untuk perencanaan program, kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan peraturan atau dapat digunakan.
Penyelidikan dapat dimulai dengan identifikasi kasus, lalu secara retrospektif mencari penyebab (agents) pada komponen lingkungannya atau faktor risiko kependudukan. Atau bila diketahui agents dalam komponen lingkungan, maka diperlukan pencarian secara kohort ditunggu out come penyakitnya. Dalam hal ini kesemuanya bertujuan untuk pengendalian atau manajemen penyakit lebih lanjut, utamanya pencegahan agar KLB tidak meluas (Achmadi, 2008).
Penyelidikan KLB dilakukan dalam pembuktian hipotesis awal mengenai KLB yang meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis penyakit tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada waktu penyelidikan. Tujuan umum dari penyelidikan KLB adalah untuk mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian KLB. Untuk mencapai tujuan umum itu, maka dirumuskan langkah - langkah khusus sebagai berikut:
1. Memastikan Diagnosis Penyakit yang Dicurigai Menyebabkan KLB
Dalam memastikan diagnosis penyakit, terlebih dahulu dijelaskan tingkatan kasus penyakit yang bersangkutan
a. Kepastian diagnosis
Kasus pasti
Ada kepastian pemeriksaan laboratorium serologi, bekteriologi, virologi, atau parasitologi dengan atau tanpa gejala klinis.
Kasus mungkin
Tanda atau gejala sesuai dengan penyakitnya tanpa dukungan labratorium.
Kasus tersangka
Tanda atau gejala sesuai dengan penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium negatif.
b. Hubugan epidemiologi
Kasus primer
Kasus yang sakit karena paparan pertama
Kasus sekunder
Kasus yang sakit karena adanya kontak dengan kasus primer
Kasus tak ada
Terjadinya sakit bukan karena paparan pertama ataupun hubungan kontak dengan kasus (Lapau, 2009).
c. Pada waktu melakukan penyelidikan KLB dilapangan, diagnosis penyakit hanya didasar kan pada penyesuaian dari gejala dan tanda penyakit yang bersangkutan yang sudah dipelajari dari kepustakaan atau oleh guru atau dosen yang bersangkutan. Namun tidak begitu mudah memastikan diagnosis penyakit atas dasar penyesuaian gejala dan tanda penyakit ini. Karena itu di lapangan pemastian diagnosis penyakit didasarkan pada :
1. Urutan frekuensi tertinggi sampai terendah dari gejala dan tanda penyakit.
2. Gejala dan atau tanda patognomonis yaitu gejala dan tanda yang khusus untuk penyakit tertentu.
3. Perimbagan antara sensitivitas dan spesifitas.
(Lapau, 2009).
2. Penetapan KLB
a. Distribusi kasus menurut waktu
Bila dibuat kurve di mana waktu merupakan absisnya dan ferekuensi kasus merupakan ordinatnya. Ada 3 jenis kurve epidemi yaitu:
1. common source epidemic, yang menunjukkan adanya sumber penyakit yang sama. Satu contoh common source epidemic :
Gambar 1. KLB Keracunan Makanan Stapilokok, Tennesse, 25 Mei 1969
(Sumber : Lapau, 2009. Sumber Rujukan: CDC, 1979).
Common source epidemic secara akut dapat terjadi pada keracunan makanan setelah makan, muntaber setelah meminum air dari satu sumber misalnya sumur, dll. Common source epidemic secara kronis dapat pula terjadi misalnya penyakit ISPA dalam satu komunitas yang terpapar pada polusi dari satu pabrik.
2. propagated epidemic, yang menunjukkan terjadinya penyebaran penyakit dari orang. Propagated epidemic dapat terjadi misalnya pada penyakit-penyakit campak, cacar, difteri, dll yang ditularkan melalui jalan pernafasan. Satu contoh propagated epidemic terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. KLB Hepatitis Infeksiosa di Kota Baren, Kentucky, Juni 1971 – April 1972
(Sumber : Lapau, 2009. Sumber Rujukan : Carmen et al, 1979)
3. kombinasi nomor 1) dan nomor 2).
Satu contoh kombinasi common source and propagated epidemic terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. KLB Salmonellosis, Clarkville, Tennesse, 4 – 15 Juli 1970
( Sumber : Lapau, 2009. Sumber Rujukan: CDC, 1979)
Combinaion of common source and propageted epidemic dapat terjadi misalnya pada kasus-kasus muntaber yang mula-mula terjadi karena satu sumber penularan misalnya sumur, lalu masing-masing kasus dapat menularkan penyakit dengan gejala muntaber kepada anggota keluarga yang lain tanpa ada kaitan dengan sumber penularan yang sama sebelumnya.
3. Menentukan penyebab penyakit dalam KLB
a. Common source epidemic
Untuk jenis KLB dengan kurve ini, terlebih dahulu ditentukan median dari waktu terjadinya KLB. Untuk jelasnya diberikan contoh KLB Keracunan Makanan setelah makan siang pada tanggal 3Agustus, lalu menimbulkan penyakit dengan gejala panas, sakit tenggorokan, mencret, muntah, dan sakit kepala, seperti tersebut diatas. Setelah ditetapkan kriteria diagnosis kasus, maka dapat dihitung misalnya ada 370 kasus. Kejadian kasus menurut frekuensi dan waktu misalnya sebagai berikut:
Waktu Frekuensi Frekuensi kumulatif
Tanggal 5 Agustus 40 40
Tanggal 6 Agustus 50 90
Tanggal 7 Agustus 60 150
Tanggal 8 Agustus 70 220
Tanggal 9 Agustus 60 280
Tanggal 10 Agustus 50 330
Tanggal 11 Agustus 40 370
Dari frekuensi kumulatif tersebut diatas, median adalah :
Median =(370=1)/2=1855
Yang terletak antara 150 dan 220 yaitu antara tanggal 7 dan 8 Agustus. Kalau misalnya, makan siang mulai tanggal 7 Agustus jam 12.00 siang sampai tanggal 8 Agustus, jam 12.00 siang adalah 24 jam senilai dengan 70 yaitu (220-150). Dari jam 12.00 sampai jam 12.00 malam adalah 12 jam yang equivalent dengan nilai 35 yaitu ½ X 70. Median dengan nilai 35,5 berarti bahwa (185,5-150), median itu terletak pada jam 12.00 malam lewat 0,5/70 X 24 jam X 60 menit = 10 menit 18 detik (0,5 adalah 35,5-335). Median merupakan timbunya gejala atau tanda penyakit pada suatu kelompok, dalam contoh ini kelompok berjumlah 370 orang. Masa inkubasi adalah mulai masuknya kuman atau racun ke dalam tubuh manusia sampai timbulnya gejala. Jadi dalam contoh ini masa inkubasi dalam kelompok adalah mulai tanggal 3 Agustus sampai tanggal 8 Agustus dini hari 10 menit 18 detik setelah jam 12.00 malam. Dari buku CDC dapat diketahui penyakit serta penyebabnya atas dasar periode masa inkubasi itu (Lapau, 2009).
b. Propagated epidemic
Penetapan diagnosis kasus didasarkan atas gejala dan tanda penyakit yang kemudian dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan kasus pasti hepatitis infeksiosa dilihat pada Gambar 2. Dari bulan Juli sampai bulan September terlihat kasus primer dari hepatitis infeksiosa, yang menular dari orang ke orang melalui makanan dan atau minuman. Kasus sekunder nya terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Dalam hal ini tanpa menghitung masa inkubasi sudah dapat ditentukan penyebab penyakit yaitu virus hepatitis A (Lapau, 2009).
c. Combination of common source and propagated epidemic
Penetapan diagnosis kasus didasarkan atas gejala dan tanda penyakit yang kemudian di konfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan kasus pasti salmonellosis. Dari jam 4 sampai dengan jam 9 menggambarkan common source epidemic dan pada jam-jam berikutnya terjadi penularan dari orang ke orang. Dalam hai ini tanpa menghitung masa inkubasi sudah dapat ditentukan penyebab penyakit (Lapau, 2009).
4. Menentukan sumber dan cara penularan
a. Commond source epidemic
Melanjutkan apa yang terlihat pada butir 3a, sebetulnya ada 500 orang yang makan siang. Pada waktu makan siang itu, diantara 400 orang yang makan salad, 370 orang terkena muntaber, lalu sisanya 10 orang muntaber; diantara 450 orang yang makan ayam goreng,360 orang terserang muntaber,lalu sisanya 15 orang terserang muntaber;diantara 400 orang yang memakan ikan goring,300 orang terserang muntaber,lalu sisanya 20 orang terserang muntaber;diantara 480 orang yang makan nasi,96 terserang muntaber, lalu sisanya 2 orang yang terserang muntaber. Untuk menentukan menu mana diantara salad,ayam goring,ikan goreng dan ayam goreng dan nasi sebagai sumber penularan, maka dibuat Tabel Angka Serangan (Lapau, 2009).
b. Propagated epidemic
Seperti dijelaskan pada butir 3b bahwa penyebab infeksi adalah virus Hepatitis A. Sumbernya dari makanan atau minuman. Karena itu secara kualitif dan diikuti dengan analisa kuntitatif dilakukan penyelidikan sumber makanan atau minuman yang mana yang menyebabkan KLB,mungkin sumur,sayur-sayuran,makanan kaleng,dan lain-lain.
c. Combination: common source and propagated epidemic
Seperti dijelaskan pada butir 3c, bahwa penyebab infeksi adalah salmonella,yang ditularkan melalui makanan. Secara kualitatif dan diikuti dengan analisis kuantitatif dilakukan penyelidikan untuk mengetahui sumber makanan dan minuman yang mana sebagai sumber penularan (Lapau, 2009).
5. Penyusunan Laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi kesehatan setempat berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan menerapkan teknik-teknik sistim surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB (Damayanti, 2013).
Dalam melakukan penyelidikan KLB terdapat berbagai kendala yang khas. Ada beberapa kendala yang sering dihadapi pada penyelidikan epidemiologi KLB, meliputi :
1. Variasi sumber, macam dan keakuratan data
Pada penyelidikan epidemiologi KLB sering diperlukan beberapa data misalnya data rumah sakit, Puskesmas, sekolah. Berbagai data tersebut kadang bervariasi dalam macam informasi yang dicatat dan tenaga yang mencatat. Dengan demikian dapat menimbulkan perbedaan pada reliabilitas dan validitas datanya. Untuk itu pada penyelidikan epidemiologi KLB kadang diperlukan pencatatan ulang agar data yang digunakan valid dan reliabel.
2. Validitas dan reliabilitas pengumpulan data. Pada penyelidikan epidemiologi KLB sering tak cukup waktu untuk mengadakan pelatihan kepada petugas pengumpul data maupun uji coba kuestioner.
3. Kekuatan penelitian. Jumlah sampel kadang hanya sedikit sehingga tidak dapat diperoleh kekuatan penelitian seperti yang diharapkan.
4. Pengumpulan specimen. Penyelidikan epidemiologi KLB kadang baru dilaksanakan beberapa hari sesuadah kejadian sehingga sering specimen (bahan makanan atau makanan) yang diperlukan sudah tidak didapat.
( Maulani, 2010 ).
2.6. Program Pengendalian dan Tahapannya
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular. Pengelolaan suatu program untuk mengendalikan penyakit menular sama dengan kegiatan organisasi lainnya, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan adanya monitoring/ supervisi. Proses tersebut bersifat iteratif, yang dimulai dengan penetapan masalah, pengembangan tujuan khusus, dan pertimbangan metode, diakhiri dengan penerapan dan evaluasi, disertai umpan balik pada proses perencanaan di setiap tahapan proses (Pickett dan John, 2009).
Tahapan – tahapan program, yaitu :
1. Perencanaan
Melakukan analisis situasi masalah, penetapan masalah prioritas, inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan dokumen perencanaan. Dokumen perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang ingin dicapai (SMART), uraian kegiatan dimana, kapan, satuan setiap kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas penanggungjawab setiap kegiatan, metode pengukuran keberhasilan.
2. Pelaksanaan
Implemantasi dokumen perencanaan. Menggerakan dan mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak yang terkait.
3. Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.
(Pickett dan John, 2009).
Adapun contoh kegiatan pokok dan kegiatan indikatif program penanganan KLB pada Puskesmas Kintamani I, meliputi:
1. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun rencana kebutuhan untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko;
• Menyediakan kebutuhan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko sebagai stimulam;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Melakukan bimbingan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Melakukan kajian program pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam pencegahn dan penanggulangan faktor risiko;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit.
2. Peningkatan imunisasi:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan peningkatan imunisasi, dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan imunisasi;
• Menyediakan kebutuhan peningkatan imunisasi sebagai stimulan yang ditujukan terutama untuk masyarakat miskin dan kawasan khusus sesuai dengan skala prioritas;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/protap program imunisasi;
• Menyiapkan dan mendistribusikan sarana dan prasarana imunisasi;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program imunisasi
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan imunisasi;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan imunisasi;
• Melakukan kajian upaya peningkatan imunisasi;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan imunisasi;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan imunisasi.
3. Penemuan dan tatalaksana penderita:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundangundangan, dan kebijakan penemuan dan tatalaksana penderita dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan penemuan dan tatalaksana penderita;
• Menyediakan kebutuhan penemuan dan tatalaksana penderita sebagai stimulan;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program penemuan dan tatalaksana penderita;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program penemuan dan tatalaksana penderita;
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis penemuan dan tatalaksana penderita;
• Melakukan kajian upaya penemuan dan tatalaksana penderita;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya penemuan dan tatalaksana penderita;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan penemuan dan tatalaksana penderita.
4. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Menyediakan kebutuhan peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah sebagai stimulan;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan menanggulangi KLB/Wabah, termasuk dampak bencana;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Melakukan kajian upaya peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
5. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.
• Menyediakan kebutuhan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit sebagai stimulan;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Melakukan kajian upaya peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.
(Wiratnaya et al, 2011)
2.7. Pengendalian KLB
Tindakan pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya KLB pada populasi, tempat dan waktu yang berisiko. Dengan demikian untuk pengendalian KLB selain diketahuinya etiologi, sumber dan cara penularan penyakit masih diperlukan informasi lain. Informasi tersebut meliputi :
1. Keadaan penyebab KLB
2. Kecenderungan jangka panjang penyakit
3. Daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat)
4. Populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas)
(Damayanti, 2013).
Pengendalian juga dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat , meliputi :
a. Penyelidikan epidemiologi;
b. Penatalaksanaan penderita yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;
c. Pencegahan dan pengebalan;
d. Pemusnahan penyebab penyakit;
e. Penanganan jenasah akibat wabah;
f. Penyuluhan pada masyarakat;
g. dan penanggulangan lainnya
(Permenkes 1501, 2010)
2.8. Contoh Kasus KLB
a. KLB Antraks
Kasus KLB Antraks pada manusia yang terjadi pada tahun 2011 di desa Karangmojo Kabupaten Boyolali. Boyolali merupakan salah satu daerah endemis Antraks. Pada tahun 2011 ditemukan 2 kasus antraks pada manusia. Antraks ini merupakan penyakit zoonosis yang perlu di tangani secara strategis. KLB Antraks adalah terjadinya satu kasus baru antraks atau lebih pada manusia dengan sebagian kasus menunjukan tanda-tanda patogomonik atau adanya bukti laboratorium (Nurhayati et al, 2012).
Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis. Pada awalnya penyakit ini menyerang hewan, namun dapat menyerang manusia. Penyakit antraks di Boyolali sudah ada sejak tahun 1990. Hingga tahun 2011 sudah tercatat beberapa kali kasus antraks pada manusia, sehingga beberapa wilayah di Kabupaten Boyolali dinyatakan sebagai daerah endemis atau rawan terkena antraks. Tipe kasus antraks yang paling banyak terjaid dari tahun 2000-2011 adalah tipe antraks kulit sebesar 68% dan antraks pencernaan sebesar 32%. Pengobatan penderita dilakukan dengan menunggu penderita datang ke tempat pengobatan dengan instruksi kepala dusun setempat. Penanggulangan Antraks dilakukan dengan adanya vaksinasi hewan, desinfeksi, penyuluhan kepada masyarakat, dan pelatihan petugas (Nurhayati et al, 2012).
b. KLB Malaria
Kasus KLB Malaria yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY. Menurut laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus sejak bukan Maret s.d September 1998, dengan rincian pada bulan Maret sebanyak 6 kasus dan telah meningkat menjadi 104 kasus pada bulan September 1998. Sehubungan dengan adanya peningkatan jumlah kasus disertai dengan keresahan masyarakat, maka dilakukan penyelidikan epidemiologi malaria di daerah Kulon Progo (Sudini dan Soetanto, 2004).
Anopheles aconitus dan An. maculatus adalah vektor yang berperan dalam penularan malaria di Kecamatan Kalibawang. Faktor – faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya KLB : rendahnya tingkat imunitas penduduk terhadap malaria, keterlambatan penemuan kasus dan faktor penunjang lainnya : sanitasi perumahan yang tidak anti nyamuk, kandang ternak berdekatan dengan rumah, tidur tanpa kelambu dan tidak memakai obat nyamuk serta tidak adanya pengendalian vektor yaitu penyemprotan rumah. Perlu adanya bantuan insektisida dari pemerintah, karena harga insektisida yang tinggi yang mengakibatkan tidak terlaksananya penyemprotan rumah (Sudini dan Soetanto, 2004).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah munculnya kejadian penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin.
• Penyakit yang berpotensi menjadi KLB seperti Kholera, Pes, Yellow Fever, DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis, Poliomyelitis, Malaria, Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
• Penyakit yang berpotensi menjadi suatu KLB dapat datang dari berbagai sumber yaitu dari manusia, kegiatan manusia, hewan, serangga, dapat pula dari air, udara, makanan, serta minuman.
• Dilakukan survei epidemiologi untuk mengetahui tanda awal KLB, kemudian diadakan penyelidikan KLB untuk tindakan lebih lanjut.
• Penyelidikan KLB dilakukan dalam pembuktian hipotesis awal mengenai KLB yang meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Tujuan umum dari penyelidikan KLB adalah untuk mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian KLB. Adapun langkah- langkah penyelidikan KLB diawali dengan memastikan diagnosis penyakit yang terjadi; lalu menetapkan kebenaran terjadinya KLB; kemudian menentukan penyebab, sumber, dan cara penularan penyakit dalam KLB, setelah semuanya dilakukan diadakan evaluasi/ penarikan kesimpulan untuk kemudian dibuat laporan penyelidikan KLB.
• Pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya KLB pada populasi, tempat dan waktu yang berisiko, adanya informasi pendukung seperti : keadaan penyebab KLB, kecenderungan jangka panjang penyakit, daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat), populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas).
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Damayanti, A. 2013. Kejadian Luar Biasa. http://pramana-d-t-fkm11.web.unair .ac.id/artikel_detail-71308-Umum- Kejadian%20Luar%20Biasa%20%28 KLB% 29.html . Diakses Tanggal 14 September 2013.
Lapau, Buchari. 2009. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Maulani, S.N. 2010. Kejadian Luar Biasa. http://catatan-kesmas.blogspot.com/2010/07/kejadian-luar-biasa-klb.html. Diakses Tanggal 14 Septermber 2013.
Nurhayati., Sri Yuliawati., dan Lintang Dian Saraswati. 2012. Gambaran Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Antraks yang Terjadi di Desa Karangmojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Jawa Tengah Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1 (2) : 374-383.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Jakarta, 2010.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistim Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB). Jakarta, 2004.
Pickett, George., dan John J Hanlon. 2009. Kesehatan Masyarakat : Administrasi dan Praktik, Edisi 9. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Sudini, Y., dan Soetanto. 2004. Kejadian Luar Biasa Malaria Di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4 (1) : 196-204.
Wiratnaya dkk. 2011. http://puskesmaskintamanisatu.blogspot.com/p/program-pemberantasan-penyakit-menular.html. Diakses tanggal 06 Oktober 2013.
Disampaikan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Dasar – Dasar Epidemiologi
Dosen Pengasuh : Dwi Sarwani SR, SKM, M.Kes
Oleh :
1. Afif Fathul Kodir G1B010036
2. Rofa Hijrani G1B012007
3. Rossita Kurnia Rahayu G1B012015
4. Sahida Woro Palupi G1B012021
5. Lidya Natalia Sitompul G1B012027
6. Linggih Indriani G1B012097
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berupaya untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang memadai. Upaya - upaya dari pemerintah maupun dari pihak pelayan kesehatan yang terkait telah mencanangkan kegiatan untuk menjamin kesehatan masyarakat Indonesia. Namun, masalah kesehatan masyarakat Indonesia tetap saja ada dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Masalah kesehatan masyarakat dapat terjadi dari sebuah lingkungan. Timbulnya penyakit pada masyarakat tertentu pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara masyarakat dengan komponen yang ada di lingkungan. Apabila berbagai komponen lingkungan tersebut mengandung bahan berbahaya seperti bahan beracun atau bahan mikroba yang memiliki potensi timbulnya penyakit, maka masyarakat akan sakit dan hal ini dapat menurunkan sumber daya manusia. Dimana penyakit merupakan adanya hubungan interaktif antara kehidupan manusia dengan bahan, kekuatan, atau zat yang tidak dikehendaki yang datang dari luar tubuhnya (Achmadi, 2008).
Hewan sebagai bagian dari lingkungan masyarakat memiliki bahaya yang dapat menimbulkan sebuah penyakit. Masalah penyakit hewan ( zoonosis ) yang secara alami dapat menular ke manusia atau sebaliknya perlu diperhatikan. Selain itu, ancaman zoonosis di Indonesia maupun di dunia cenderung terus meningkat dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, keamanan dan kesejahteraan masyarakat ( Nurhayati et al, 2012).
Munculnya penyakit merupakan bagian dari gangguan ekosistem. Gangguan ekosistem ini terjadi dengan adanya letusan penyakit dalam suatu wilayah. Sehingga gangguan ini dapat dinamakan dengan Kejadian Luar Bisa (KLB) atau wabah. KLB ini adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat terjadi di wilayah tertentu. KLB penyakit menular, keracunan makanan, keracunan bahan berbahaya lainnya dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran biaya yang besar dalam upaya penanggulangannya, berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata, serta berpotensi menyebar luas yang membutuhkan koordinasi dalam penanggulangannya (Permenkes 949, 2004). Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan tentang KLB dan penyelidikan mengenai KLB tersebut.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
• Mengetahui pengertian KLB.
• Mengetahui apa saja kriteria penyakit KLB.
• Mengetahui apa saja penggolongan KLB.
• Mengetahui contoh kasus KLB.
• Mengetahui tanda awal KLB.
• Mengetahui langkah-langkah dan kendala penyelidikan KLB.
• Mengetahui penanggulangan dan program pengendalian KLB.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kejadian Luar Biasa
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Untuk penyakit-penyakit endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa), maka KLB didefinisikan sebagai suatu peningkatan jumlah kasus yang melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu. Pada penyakit yang lama tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah (non-endemis), adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB (Damayanti, 2013).
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah munculnya kejadian penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut (Achmadi, 2008). Kejadian Luar Biasa adalah terjadi peningkatan jumlah kasus secara bermakna bila dibandingkan dengan periode yang sama pada bulan – bulan sebelumnya (Sudini dan Soetanto, 2004). Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.
Kejadian Luar Biasa (KLB) memiliki 7 (tujuh) kriteria, yaitu :
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
(Permenkes 1501, 2010)
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu. Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang (periode tahunan – pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (Maulani, 2010).
2.2. Penyakit-Penyakit Berpotensi KLB
1. Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.
2. Penyakit potensi KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai mortalitas tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera : DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis, Poliomyelitis.
3. Penyakit potensial KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria, Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
4. Tidak berpotensi KLB, tetapi Penyakit-penyakit menular yang masuk program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dll.
( Damayanti, 2013).
2.3. Penggolongan KLB berdasarkan sumber
1. Sumber dari manusia : jalan nafas, tenggorokan, tinja, tangan, urine, dan muntahan. Seperti : Salmonella, Shigela, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
2. Sumber dari kegiatan manusia : penyemprotan (penyemprotan pestisida), pencemaran lingkungan, penangkapan ikan dengan racun, toxin biologis dan kimia.
3. Sumber dari hewan : hewan piaraan, ikan dan hewan pengerat. Seperti : Antraks.
4. Sumber dari serangga : lalat (pada makanan) dan kecoa. Misalnya : Salmonella, Staphylococus, Streptoccocus.
5. Sumber dari udara, air, makanan atau minuman (keracunan). Dari udara, misalnya Staphylococus, Streptoccocus, Virus, Pencemaran Udara. Pada air, misalnya Vibrio cholerae, Salmonella. Sedangkan pada makanan, misalnya keracunan singkong, jamur, makan dalam kaleng.
( Damayanti, 2013 )
2.4. Mengetahui Tanda Awal KLB
Untuk mengetahui masalah kesehatan dalam masyarakat perlu dilakukan survei atau studi epidemiologi khusus, yang memerlukan waktu lebih lama dan biaya lebih tinggi. Khusus untuk kejadian luar biasa (KLB) tidak mungkin hanya dengan melakukan survei, karena KLB terjadi sewaktu-waktu, sedangkan survei perlu direncanakan dan biayanya dianggarkan. Diperlukan adanya petunjuk atau indikasi terjadinya KLB dimasyarakat melalui fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumak sakit, klinik swasta, praktik dokter swasta, dll. Kemudian dilakukan penyelidikan sebagai pembuktian hipotesis setelah dilakukan survei ( Lapau, 2009).
2.5. Penyelidikan KLB
KLB merupakan kejadian yang alami (natural), oleh karenanya selain untuk mencapai tujuan utamanya penyelidikan epidemiologi KLB merupakan kesempatan baik untuk melakukan penelitian. Misalnya penelitian tentang hubungan yang berat antara ilmu epidemiologi dan penggunaannya di lapangan, mengevaluasi program-program kesehatan (cara diagnosis, pengobatan, imunisasi, pencegahan penyakit, penyuluhan kesehatan) kesehatan sebagai sarana pelatihan epidemiologi pada petugas kesehatan. Di Indonesia, setiap penyelidikan epidemiologi KLB, sebaiknya digunakan sebagai sarana mendapatkan informasi untuk perbaikan program kesehatan pada umumnya dan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan sistem surveilans pada khususnya (Maulani, 2010). Mengingat hal ini sebaiknya pada penyelidikan epidemiologi KLB selalu dilakukan :
1. Pengkajian terhadap sistem surveilans yang ada, untuk mengetahui kemampuannya yang ada sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistem surveilans.
2. Penelitian faktor risiko kejadian penyakit (KLB) yang sedang berlangsung.
3. Evaluasi terhadap program kesehatan lingkungan, kesehatan perorangan dan lainnya, mengevaluasi kemampuan sistem surveilans yang ada, mengetahui partisipasi masyarakat, mengetahui sumber yang tepat untuk perencanaan program, kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan peraturan atau dapat digunakan.
Penyelidikan dapat dimulai dengan identifikasi kasus, lalu secara retrospektif mencari penyebab (agents) pada komponen lingkungannya atau faktor risiko kependudukan. Atau bila diketahui agents dalam komponen lingkungan, maka diperlukan pencarian secara kohort ditunggu out come penyakitnya. Dalam hal ini kesemuanya bertujuan untuk pengendalian atau manajemen penyakit lebih lanjut, utamanya pencegahan agar KLB tidak meluas (Achmadi, 2008).
Penyelidikan KLB dilakukan dalam pembuktian hipotesis awal mengenai KLB yang meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis penyakit tersangka. Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada waktu penyelidikan. Tujuan umum dari penyelidikan KLB adalah untuk mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian KLB. Untuk mencapai tujuan umum itu, maka dirumuskan langkah - langkah khusus sebagai berikut:
1. Memastikan Diagnosis Penyakit yang Dicurigai Menyebabkan KLB
Dalam memastikan diagnosis penyakit, terlebih dahulu dijelaskan tingkatan kasus penyakit yang bersangkutan
a. Kepastian diagnosis
Kasus pasti
Ada kepastian pemeriksaan laboratorium serologi, bekteriologi, virologi, atau parasitologi dengan atau tanpa gejala klinis.
Kasus mungkin
Tanda atau gejala sesuai dengan penyakitnya tanpa dukungan labratorium.
Kasus tersangka
Tanda atau gejala sesuai dengan penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium negatif.
b. Hubugan epidemiologi
Kasus primer
Kasus yang sakit karena paparan pertama
Kasus sekunder
Kasus yang sakit karena adanya kontak dengan kasus primer
Kasus tak ada
Terjadinya sakit bukan karena paparan pertama ataupun hubungan kontak dengan kasus (Lapau, 2009).
c. Pada waktu melakukan penyelidikan KLB dilapangan, diagnosis penyakit hanya didasar kan pada penyesuaian dari gejala dan tanda penyakit yang bersangkutan yang sudah dipelajari dari kepustakaan atau oleh guru atau dosen yang bersangkutan. Namun tidak begitu mudah memastikan diagnosis penyakit atas dasar penyesuaian gejala dan tanda penyakit ini. Karena itu di lapangan pemastian diagnosis penyakit didasarkan pada :
1. Urutan frekuensi tertinggi sampai terendah dari gejala dan tanda penyakit.
2. Gejala dan atau tanda patognomonis yaitu gejala dan tanda yang khusus untuk penyakit tertentu.
3. Perimbagan antara sensitivitas dan spesifitas.
(Lapau, 2009).
2. Penetapan KLB
a. Distribusi kasus menurut waktu
Bila dibuat kurve di mana waktu merupakan absisnya dan ferekuensi kasus merupakan ordinatnya. Ada 3 jenis kurve epidemi yaitu:
1. common source epidemic, yang menunjukkan adanya sumber penyakit yang sama. Satu contoh common source epidemic :
Gambar 1. KLB Keracunan Makanan Stapilokok, Tennesse, 25 Mei 1969
(Sumber : Lapau, 2009. Sumber Rujukan: CDC, 1979).
Common source epidemic secara akut dapat terjadi pada keracunan makanan setelah makan, muntaber setelah meminum air dari satu sumber misalnya sumur, dll. Common source epidemic secara kronis dapat pula terjadi misalnya penyakit ISPA dalam satu komunitas yang terpapar pada polusi dari satu pabrik.
2. propagated epidemic, yang menunjukkan terjadinya penyebaran penyakit dari orang. Propagated epidemic dapat terjadi misalnya pada penyakit-penyakit campak, cacar, difteri, dll yang ditularkan melalui jalan pernafasan. Satu contoh propagated epidemic terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. KLB Hepatitis Infeksiosa di Kota Baren, Kentucky, Juni 1971 – April 1972
(Sumber : Lapau, 2009. Sumber Rujukan : Carmen et al, 1979)
3. kombinasi nomor 1) dan nomor 2).
Satu contoh kombinasi common source and propagated epidemic terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. KLB Salmonellosis, Clarkville, Tennesse, 4 – 15 Juli 1970
( Sumber : Lapau, 2009. Sumber Rujukan: CDC, 1979)
Combinaion of common source and propageted epidemic dapat terjadi misalnya pada kasus-kasus muntaber yang mula-mula terjadi karena satu sumber penularan misalnya sumur, lalu masing-masing kasus dapat menularkan penyakit dengan gejala muntaber kepada anggota keluarga yang lain tanpa ada kaitan dengan sumber penularan yang sama sebelumnya.
3. Menentukan penyebab penyakit dalam KLB
a. Common source epidemic
Untuk jenis KLB dengan kurve ini, terlebih dahulu ditentukan median dari waktu terjadinya KLB. Untuk jelasnya diberikan contoh KLB Keracunan Makanan setelah makan siang pada tanggal 3Agustus, lalu menimbulkan penyakit dengan gejala panas, sakit tenggorokan, mencret, muntah, dan sakit kepala, seperti tersebut diatas. Setelah ditetapkan kriteria diagnosis kasus, maka dapat dihitung misalnya ada 370 kasus. Kejadian kasus menurut frekuensi dan waktu misalnya sebagai berikut:
Waktu Frekuensi Frekuensi kumulatif
Tanggal 5 Agustus 40 40
Tanggal 6 Agustus 50 90
Tanggal 7 Agustus 60 150
Tanggal 8 Agustus 70 220
Tanggal 9 Agustus 60 280
Tanggal 10 Agustus 50 330
Tanggal 11 Agustus 40 370
Dari frekuensi kumulatif tersebut diatas, median adalah :
Median =(370=1)/2=1855
Yang terletak antara 150 dan 220 yaitu antara tanggal 7 dan 8 Agustus. Kalau misalnya, makan siang mulai tanggal 7 Agustus jam 12.00 siang sampai tanggal 8 Agustus, jam 12.00 siang adalah 24 jam senilai dengan 70 yaitu (220-150). Dari jam 12.00 sampai jam 12.00 malam adalah 12 jam yang equivalent dengan nilai 35 yaitu ½ X 70. Median dengan nilai 35,5 berarti bahwa (185,5-150), median itu terletak pada jam 12.00 malam lewat 0,5/70 X 24 jam X 60 menit = 10 menit 18 detik (0,5 adalah 35,5-335). Median merupakan timbunya gejala atau tanda penyakit pada suatu kelompok, dalam contoh ini kelompok berjumlah 370 orang. Masa inkubasi adalah mulai masuknya kuman atau racun ke dalam tubuh manusia sampai timbulnya gejala. Jadi dalam contoh ini masa inkubasi dalam kelompok adalah mulai tanggal 3 Agustus sampai tanggal 8 Agustus dini hari 10 menit 18 detik setelah jam 12.00 malam. Dari buku CDC dapat diketahui penyakit serta penyebabnya atas dasar periode masa inkubasi itu (Lapau, 2009).
b. Propagated epidemic
Penetapan diagnosis kasus didasarkan atas gejala dan tanda penyakit yang kemudian dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan kasus pasti hepatitis infeksiosa dilihat pada Gambar 2. Dari bulan Juli sampai bulan September terlihat kasus primer dari hepatitis infeksiosa, yang menular dari orang ke orang melalui makanan dan atau minuman. Kasus sekunder nya terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Dalam hal ini tanpa menghitung masa inkubasi sudah dapat ditentukan penyebab penyakit yaitu virus hepatitis A (Lapau, 2009).
c. Combination of common source and propagated epidemic
Penetapan diagnosis kasus didasarkan atas gejala dan tanda penyakit yang kemudian di konfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium, sehingga didapatkan kasus pasti salmonellosis. Dari jam 4 sampai dengan jam 9 menggambarkan common source epidemic dan pada jam-jam berikutnya terjadi penularan dari orang ke orang. Dalam hai ini tanpa menghitung masa inkubasi sudah dapat ditentukan penyebab penyakit (Lapau, 2009).
4. Menentukan sumber dan cara penularan
a. Commond source epidemic
Melanjutkan apa yang terlihat pada butir 3a, sebetulnya ada 500 orang yang makan siang. Pada waktu makan siang itu, diantara 400 orang yang makan salad, 370 orang terkena muntaber, lalu sisanya 10 orang muntaber; diantara 450 orang yang makan ayam goreng,360 orang terserang muntaber,lalu sisanya 15 orang terserang muntaber;diantara 400 orang yang memakan ikan goring,300 orang terserang muntaber,lalu sisanya 20 orang terserang muntaber;diantara 480 orang yang makan nasi,96 terserang muntaber, lalu sisanya 2 orang yang terserang muntaber. Untuk menentukan menu mana diantara salad,ayam goring,ikan goreng dan ayam goreng dan nasi sebagai sumber penularan, maka dibuat Tabel Angka Serangan (Lapau, 2009).
b. Propagated epidemic
Seperti dijelaskan pada butir 3b bahwa penyebab infeksi adalah virus Hepatitis A. Sumbernya dari makanan atau minuman. Karena itu secara kualitif dan diikuti dengan analisa kuntitatif dilakukan penyelidikan sumber makanan atau minuman yang mana yang menyebabkan KLB,mungkin sumur,sayur-sayuran,makanan kaleng,dan lain-lain.
c. Combination: common source and propagated epidemic
Seperti dijelaskan pada butir 3c, bahwa penyebab infeksi adalah salmonella,yang ditularkan melalui makanan. Secara kualitatif dan diikuti dengan analisis kuantitatif dilakukan penyelidikan untuk mengetahui sumber makanan dan minuman yang mana sebagai sumber penularan (Lapau, 2009).
5. Penyusunan Laporan KLB
Hasil penyelidikan epidemiologi hendaknya dilaporkan kepada pihak yang berwenang baik secara lisan maupun secara tertulis. Laporan secara lisan kepada instansi kesehatan setempat berguna agar tindakan penanggulangan dan pengendalian KLB yang disarankan dapat dilaksanakan. Laporan tertulis diperlukan diperlukan agar pengalaman dan hasil penyelidikan epidemiologi dapat dipergunakan untuk merancang dan menerapkan teknik-teknik sistim surveilans yang lebih baik atau dipergunakan untuk memperbaiki program kesehatan serta dapat dipergunakan untuk penanggulangan atau pengendalian KLB (Damayanti, 2013).
Dalam melakukan penyelidikan KLB terdapat berbagai kendala yang khas. Ada beberapa kendala yang sering dihadapi pada penyelidikan epidemiologi KLB, meliputi :
1. Variasi sumber, macam dan keakuratan data
Pada penyelidikan epidemiologi KLB sering diperlukan beberapa data misalnya data rumah sakit, Puskesmas, sekolah. Berbagai data tersebut kadang bervariasi dalam macam informasi yang dicatat dan tenaga yang mencatat. Dengan demikian dapat menimbulkan perbedaan pada reliabilitas dan validitas datanya. Untuk itu pada penyelidikan epidemiologi KLB kadang diperlukan pencatatan ulang agar data yang digunakan valid dan reliabel.
2. Validitas dan reliabilitas pengumpulan data. Pada penyelidikan epidemiologi KLB sering tak cukup waktu untuk mengadakan pelatihan kepada petugas pengumpul data maupun uji coba kuestioner.
3. Kekuatan penelitian. Jumlah sampel kadang hanya sedikit sehingga tidak dapat diperoleh kekuatan penelitian seperti yang diharapkan.
4. Pengumpulan specimen. Penyelidikan epidemiologi KLB kadang baru dilaksanakan beberapa hari sesuadah kejadian sehingga sering specimen (bahan makanan atau makanan) yang diperlukan sudah tidak didapat.
( Maulani, 2010 ).
2.6. Program Pengendalian dan Tahapannya
Program pengendalian dilakukan oleh institusi kesehatan dalam upaya menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular. Pengelolaan suatu program untuk mengendalikan penyakit menular sama dengan kegiatan organisasi lainnya, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan adanya monitoring/ supervisi. Proses tersebut bersifat iteratif, yang dimulai dengan penetapan masalah, pengembangan tujuan khusus, dan pertimbangan metode, diakhiri dengan penerapan dan evaluasi, disertai umpan balik pada proses perencanaan di setiap tahapan proses (Pickett dan John, 2009).
Tahapan – tahapan program, yaitu :
1. Perencanaan
Melakukan analisis situasi masalah, penetapan masalah prioritas, inventarisasi alternatif pemecahan masalah, penyusunan dokumen perencanaan. Dokumen perencaan harus detail terhadap target/tujuan yang ingin dicapai (SMART), uraian kegiatan dimana, kapan, satuan setiap kegiatan, volume, rincian kebutuhan biaya, adanya petugas penanggungjawab setiap kegiatan, metode pengukuran keberhasilan.
2. Pelaksanaan
Implemantasi dokumen perencanaan. Menggerakan dan mengkoordinasikn seluruh komponen dan semua pihak yang terkait.
3. Pengendalian (Monitoring/Supervisi)
Supervisi dilakukan untuk memastikan seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.
(Pickett dan John, 2009).
Adapun contoh kegiatan pokok dan kegiatan indikatif program penanganan KLB pada Puskesmas Kintamani I, meliputi:
1. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun rencana kebutuhan untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko;
• Menyediakan kebutuhan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko sebagai stimulam;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Melakukan bimbingan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Melakukan kajian program pencegahan dan penanggulangan faktor risiko;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam pencegahn dan penanggulangan faktor risiko;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit.
2. Peningkatan imunisasi:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan peningkatan imunisasi, dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan imunisasi;
• Menyediakan kebutuhan peningkatan imunisasi sebagai stimulan yang ditujukan terutama untuk masyarakat miskin dan kawasan khusus sesuai dengan skala prioritas;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/protap program imunisasi;
• Menyiapkan dan mendistribusikan sarana dan prasarana imunisasi;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program imunisasi
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan imunisasi;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan imunisasi;
• Melakukan kajian upaya peningkatan imunisasi;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan imunisasi;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan imunisasi.
3. Penemuan dan tatalaksana penderita:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundangundangan, dan kebijakan penemuan dan tatalaksana penderita dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan penemuan dan tatalaksana penderita;
• Menyediakan kebutuhan penemuan dan tatalaksana penderita sebagai stimulan;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program penemuan dan tatalaksana penderita;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program penemuan dan tatalaksana penderita;
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis penemuan dan tatalaksana penderita;
• Melakukan kajian upaya penemuan dan tatalaksana penderita;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya penemuan dan tatalaksana penderita;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan penemuan dan tatalaksana penderita.
4. Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Menyediakan kebutuhan peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah sebagai stimulan;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan menanggulangi KLB/Wabah, termasuk dampak bencana;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Melakukan kajian upaya peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah.
5. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit:
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-undangan, dan kebijakan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit dan diseminasinya;
• Menyiapkan materi dan menyusun perencanaan kebutuhan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.
• Menyediakan kebutuhan peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit sebagai stimulan;
• Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/juknis/pedoman program komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melaksanakan program komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Melakukan kajian upaya peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Membina dan mengembangkan UPT dalam upaya peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit;
• Melaksanakan dukungan administrasi dan operasional pelaksanaan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit.
(Wiratnaya et al, 2011)
2.7. Pengendalian KLB
Tindakan pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya KLB pada populasi, tempat dan waktu yang berisiko. Dengan demikian untuk pengendalian KLB selain diketahuinya etiologi, sumber dan cara penularan penyakit masih diperlukan informasi lain. Informasi tersebut meliputi :
1. Keadaan penyebab KLB
2. Kecenderungan jangka panjang penyakit
3. Daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat)
4. Populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas)
(Damayanti, 2013).
Pengendalian juga dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat , meliputi :
a. Penyelidikan epidemiologi;
b. Penatalaksanaan penderita yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina;
c. Pencegahan dan pengebalan;
d. Pemusnahan penyebab penyakit;
e. Penanganan jenasah akibat wabah;
f. Penyuluhan pada masyarakat;
g. dan penanggulangan lainnya
(Permenkes 1501, 2010)
2.8. Contoh Kasus KLB
a. KLB Antraks
Kasus KLB Antraks pada manusia yang terjadi pada tahun 2011 di desa Karangmojo Kabupaten Boyolali. Boyolali merupakan salah satu daerah endemis Antraks. Pada tahun 2011 ditemukan 2 kasus antraks pada manusia. Antraks ini merupakan penyakit zoonosis yang perlu di tangani secara strategis. KLB Antraks adalah terjadinya satu kasus baru antraks atau lebih pada manusia dengan sebagian kasus menunjukan tanda-tanda patogomonik atau adanya bukti laboratorium (Nurhayati et al, 2012).
Antraks adalah penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis. Pada awalnya penyakit ini menyerang hewan, namun dapat menyerang manusia. Penyakit antraks di Boyolali sudah ada sejak tahun 1990. Hingga tahun 2011 sudah tercatat beberapa kali kasus antraks pada manusia, sehingga beberapa wilayah di Kabupaten Boyolali dinyatakan sebagai daerah endemis atau rawan terkena antraks. Tipe kasus antraks yang paling banyak terjaid dari tahun 2000-2011 adalah tipe antraks kulit sebesar 68% dan antraks pencernaan sebesar 32%. Pengobatan penderita dilakukan dengan menunggu penderita datang ke tempat pengobatan dengan instruksi kepala dusun setempat. Penanggulangan Antraks dilakukan dengan adanya vaksinasi hewan, desinfeksi, penyuluhan kepada masyarakat, dan pelatihan petugas (Nurhayati et al, 2012).
b. KLB Malaria
Kasus KLB Malaria yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DIY. Menurut laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus sejak bukan Maret s.d September 1998, dengan rincian pada bulan Maret sebanyak 6 kasus dan telah meningkat menjadi 104 kasus pada bulan September 1998. Sehubungan dengan adanya peningkatan jumlah kasus disertai dengan keresahan masyarakat, maka dilakukan penyelidikan epidemiologi malaria di daerah Kulon Progo (Sudini dan Soetanto, 2004).
Anopheles aconitus dan An. maculatus adalah vektor yang berperan dalam penularan malaria di Kecamatan Kalibawang. Faktor – faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya KLB : rendahnya tingkat imunitas penduduk terhadap malaria, keterlambatan penemuan kasus dan faktor penunjang lainnya : sanitasi perumahan yang tidak anti nyamuk, kandang ternak berdekatan dengan rumah, tidur tanpa kelambu dan tidak memakai obat nyamuk serta tidak adanya pengendalian vektor yaitu penyemprotan rumah. Perlu adanya bantuan insektisida dari pemerintah, karena harga insektisida yang tinggi yang mengakibatkan tidak terlaksananya penyemprotan rumah (Sudini dan Soetanto, 2004).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah munculnya kejadian penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin.
• Penyakit yang berpotensi menjadi KLB seperti Kholera, Pes, Yellow Fever, DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis, Poliomyelitis, Malaria, Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
• Penyakit yang berpotensi menjadi suatu KLB dapat datang dari berbagai sumber yaitu dari manusia, kegiatan manusia, hewan, serangga, dapat pula dari air, udara, makanan, serta minuman.
• Dilakukan survei epidemiologi untuk mengetahui tanda awal KLB, kemudian diadakan penyelidikan KLB untuk tindakan lebih lanjut.
• Penyelidikan KLB dilakukan dalam pembuktian hipotesis awal mengenai KLB yang meliputi penyakit penyebab KLB, sumber dan cara penularan. Tujuan umum dari penyelidikan KLB adalah untuk mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian KLB. Adapun langkah- langkah penyelidikan KLB diawali dengan memastikan diagnosis penyakit yang terjadi; lalu menetapkan kebenaran terjadinya KLB; kemudian menentukan penyebab, sumber, dan cara penularan penyakit dalam KLB, setelah semuanya dilakukan diadakan evaluasi/ penarikan kesimpulan untuk kemudian dibuat laporan penyelidikan KLB.
• Pengendalian KLB meliputi pencegahan terjadinya KLB pada populasi, tempat dan waktu yang berisiko, adanya informasi pendukung seperti : keadaan penyebab KLB, kecenderungan jangka panjang penyakit, daerah yang berisiko untuk terjadi KLB (tempat), populasi yang berisiko (orang, keadaan imunitas).
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Damayanti, A. 2013. Kejadian Luar Biasa. http://pramana-d-t-fkm11.web.unair .ac.id/artikel_detail-71308-Umum- Kejadian%20Luar%20Biasa%20%28 KLB% 29.html . Diakses Tanggal 14 September 2013.
Lapau, Buchari. 2009. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Maulani, S.N. 2010. Kejadian Luar Biasa. http://catatan-kesmas.blogspot.com/2010/07/kejadian-luar-biasa-klb.html. Diakses Tanggal 14 Septermber 2013.
Nurhayati., Sri Yuliawati., dan Lintang Dian Saraswati. 2012. Gambaran Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Antraks yang Terjadi di Desa Karangmojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Jawa Tengah Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1 (2) : 374-383.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Jakarta, 2010.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistim Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB). Jakarta, 2004.
Pickett, George., dan John J Hanlon. 2009. Kesehatan Masyarakat : Administrasi dan Praktik, Edisi 9. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Sudini, Y., dan Soetanto. 2004. Kejadian Luar Biasa Malaria Di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4 (1) : 196-204.
Wiratnaya dkk. 2011. http://puskesmaskintamanisatu.blogspot.com/p/program-pemberantasan-penyakit-menular.html. Diakses tanggal 06 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar